Keluarga seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi penghuninya, termasuk (anak) perempuan. Namun, rasa aman itu tidak dirasakan oleh (anak) perempuan korban inses. Ayah, abang, kakek, atau paman mereka, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi pemangasa. Tindakan inses tersebut bisa berlangsung dalam periode waktu yang lama tanpa diketahui siapa pun. Korban tidak dapat menyuarakan pengalaman kekerasan seksual yang mereka alami sebab itu sama artinya dengan membuka aib keluarga dan biasanya korban juga selalu diancam pelaku. Dampaknya tentu saja menghancurkan dan menimbulkan trauma yang sangat dalam sehingga hingga korban dewasa. Korban/penyintas kehilangan potensi untuk hidup sebagai seorang manusia karena tubuhnya telah diambil paksa oleh pelaku dan seksualitasnya dirusak.
Dalam penelitianya, penulis menemukan bahwa agama cukup singnifikan melanggengkan dominasi laki-laki atas (anak) perempuan melalui ajaran yang bias gender. selain itu, meskipun inses merupakan fenomena yang meluas dan sangat berdampak buruk bagi korban/penyintas, komunita agama belum memberikan respons yang relevan. karena itu, penulis menawarkan “teologi tubuh” menurut perspektif feminis lintas agama, yang menurutnya ccocok untuk konteks indonesia yang multireligi. kontruksi teologi tubuh salah satunya dibangun melalui hermeneutika feminis, yaitu pembacaan ulang terhadap teks-teks kitab suci yang yang androsentris dan misoginis. Teks-teks yang di tulis, dibaca, dan ditafsirkan dalam budaya patriarkat itu ditransformasi menjadi teks-teks yang mendatangkan pembebasan bagi (anak) perempuan korban/penyintas inses.
Reviews
There are no reviews yet.