"Mungkin lebih baik begini saja, Pak Pendeta, untuk berukutnya, kami akan mengirimkan kepada Pak Pendeta daftar nama orang yang akan dieksekusi. Dan silakan Pak Pendeta meneliti, jika di antara mereka ada warga gereja Pak Pendeta, silakan diberi tanda supaya kami segera membebaskan mereka." Ismanoe terkejut. Mungkin cara yang ditawarkan itu adalah cara yang terbaik. Tetapi, dengan adanya daftar yang diterima setiap dua hari sekali, penderitaannya akan bertambah dan hampir tak tertahankan lagi.
Situasi mencekam di Bayuwangi Selatan bulan Oktober 1965 telah menempatkan Ismanoe ke dalam pelayanan penuh resiko. Dia meyakini bahwa dirinya hanya hamba yang diserahi tugas sebagai gembala, bukan untuk menentukan mati hidupnya seseorang. Akibatnya, dia merasa telah ikut membunuh orang-orang yang tidak bersalah dan tidak mengerti persoalan politik. Pergumulannya makin lama makin berat. Hampir setiap malam dia duduk di meja makan, berdoa dan menangis. "Tuhan, tangan hamba telah berlumuran darah. Ampunilah hamba yang telah gagal menjadi gembala domba-Mu Tuhan"
Buku ini mengisahkan pergulatan batin seorang pendeta dan keluarganya yang ditempatkan di tengah serangkaian pembantaian di ujung Pulau Jawa tahun 1965. Pembaca tidak hanya akan terbuka wawasannya dalam memahami sejarah pahit bangsa ini, tetapi sekaligus tertantang imannya untuk tidak tinggal diam dan berani tetap bersinar dalam kelamnya kehidupan.
Reviews
There are no reviews yet.