Peristiw Gerakan 30 September 1965 masih menyisakan kepedihan yang dalam, tidak hanya bagi keluarga korban (victims), tetapi juga bagi para penyintas (survivors) dan keluarga mereka. Kendati telah lama berlalu, para penyintas yang masih hidup masih merasakan trauma dan emosi ketika mereka menceritakan ingatan atas peristiwa tersebut.
Peristiwa penculikan dan pembunuhan 7 perwira TNI-AD pada 1 Oktober 1965 di jakarta menimbulkan kegemparan besar di seluruh indonesia dan berdampak pada terjadinya Peristiwa Kedua, yaitu pembataian massal orang-orang yang dituduh “berhaluan kiri” di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan daerah-daerah lain, termasuk Sumatera Utara. Banyak warga gereja yang ditangkap, disiksa, di penjara sebagai tahanan politik (tapol), atau dikenakan wajib lapor. lalu, bagaimana para penyintas itu menyikapi ingatan-ingatan buruk itu? Mengingatnya, atau melupakanya?
Dalam buku Seri Monografi yang diangkat dari disertainya ini, penulis mewawancarai lima narasumber (usia 78-86 tahun), yang tinggal di tiga desa di kabupaten dairi, Sumatera Utara,. Penulis mengetengahkan gagasan multidirectional memory dari Rothberg, teologi ingatan dari Pakpahan, remembering righyly dari Volf, dan healing memories dari rekonsilisasi anatara Lutheran dan Mennonite, serta cara orang Batak mengingat masa lalunya, yang menurutnya dapat menjadi pintu masuk terjadinya pemulihan, pengampunan, dan rekonsiliasi berbagai pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Reviews
There are no reviews yet.